BAB 10
AGAMA- MASYARAKAT
Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh
pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah
kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang ati dan hakikat kehidupan,
tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan relegi dan sila Ketuhanan
Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agama para tasauf.
Bukti-bukti itu sampai pada pendapat bahwaagama merupakan
tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate. Agama yang diyakini,
merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan
kembali pada konsep hubungan agama dengan masyarakat, di mana pengalaman
keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial dan invidu dengan masyarakat
yang seharusnya tidak bersifat antagonis.
Peraturan agama dalam masyarakat penuh dengan hidup,
menekankan pada hal-hal yang normative atau menunjuk kepada hal-hal yang
sebaiknya dan seharusnya dilakukan.
Contoh kasus akibat tidak terlembaganya agama adalah “anomi”,
yaitu keadaan disorganisasi sosial di mana bentuk sosial dan kultur yang mapan
jadi ambruk. Hal ini, pertama, disebabkan oleh hilangnya solidaritas apabila
kelompok lama di mana individu merasa aman dan responsive dengan kelompoknya
menjadi hilang. Kedua, karena hilangnya consensus atau tumbangnya persetujuan
terhadap nilai-nilai dan norma yang bersumber dari agama yang telah memberikan
arah dan makna bagi kehidupan kelompok.
FUNGSI AGAMA
Ada tiga aspek penting yang selalu dipelajari dalam
mendiskusikan fungsi agama dalam masyarakat, yaitu kebudayaan, sistem sosial,
dan kepribadian. Ketiga aspek itu merupakan kompleks fenomena sosial terpadu
yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia, sehingga timbul
pertanyaan sejauh mana fungsi lembaga agama memelihara sistem, apakah lembaga
agama terhadap kebudayaan adalah suatu sistem, atau sejauh mana agama dapat
mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan tersebut
timbul karena sejak dulu hingga sekarang, agama masih ada dan mempunyai fungsi,
bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Manusia yang berbudaya, menganut berbagai nilai, gagasan, dan
orientasi yang terpola mempengaruhi perilaku, bertindak dalam konteks
terlembaga dalam lembaga situasi di mana peranan dipaksa oleh sanksi positif
dan negatif serta penolakan penampilan, tapi yang bertindak, berpikir dan
merasa adalah individu itu sendiri.
Teori fungsionalisme melihat agama sebagai penyebab sosial
agama terbentuknya lapisan sosial, perasaan agama, sampai konflik sosial. Agama
dipandang sebagai lembaga sosial yang menjawab kebutuhan dasar yang dapat
dipenuhi oleh nilai-nilai duniawi, tapi tidak menguntik hakikat apa yang ada di
luar atau referensi transdental.
Aksioma teori di atas adalah, segala sesuatu yang tidak
berfungsi akan hilang dengan sendirinya. Teori tersebut juga memandang
kebutuhan “sesuatu yang mentransendensikan pengalaman” sebagai dasar dari
karakteristik eksistensi manusia. Hali itu meliputi, Pertama, manusia hidup
dalam kondisi ketidakpastian juga hal penting bagi keamanan dan
kesejahteraannnya berada di luar jangkauan manusia itu sendiri. Kedua,
kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan mempengaruhi kondisi hidupnya
adalah terbatas, dan pada titik tertentu akan timbul konflik antara kondisi
lingkungan dan keinginan yang ditandai oleh ketidakberdayaan. Ketiga, manusia
harus hidup bermasyarakat di mana ada alokasi yang teratur dari berbagai
fungsi, fasilitas, dan ganjaran. Jadi, seorang fungsionalis memandang agama
sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengatasi diri dari ketidakpastian,
ketidakberdayaan, dan kelangkaan; dan agama dipandang sebagai mekanisme
penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur tersebut.
Fungsi agama terhadap pemeliharaan masyarakat ialah
memenuhi sebagian kebutuhan masyarakat. Contohnya adalaha sistem kredit dalam
masalah ekonomi, di mana sirkulasi sumber kebudayaan suatu sistem ekonomi
bergantung pada kepercayaan yang terjalin antar manusia, bahwa mereka akan
memenuhi kewajiban bersama dengan jenji sosial mereka untuk membayar. Dalam hal
ini, agama membantu mendorong terciptanya persetujuan dan kewajiban sosial dan
memberikan kekuatan memaksa, memperkuat, atau mempengaruhi adat-istiadat.
Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai bersumber pada
kerangka acuan yang bersifat sakral, maka norma pun dikukuhkan dengan sanksi
sakral. Sanski sakral itu mempunyai kekuatan memaksa istimewa karena ganjaran
dan hukumannya bersifat duniawi, supramanusiawi, dan ukhrowi.
Fungsi agama di sosial adalah fungsi penentu, di mana
agama menciptakan suatu ikatan bersama baik antara anggota-anggota beberapa
masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang mempersatukan mereka.
Fungsi agama sebagai sosialisasi individu adalah, saat
individu tumbuh dewasa, maka dia akan membutuhkan suatu sistem nilai sebagai
tuntunan umum untuk mengarahkan aktifitasnya dalam masyarakat. Agama juga
berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Orang tua tidak
akan mengabaikan upaya “moralisasi” anak-anaknya, seperti pendidikan agama
mengajarkan bahwa hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai tujuan
utamanya. Karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut harus beribadah secara
teratur dan kontinu. Masalah fungsionalisme agama dapat dianalisis lebih mudah
pada komitmen agama. Menurut Roland Robertson (1984), dimensikomitmen agama
diklasifikasikan menjadi :
a.Dimensi
keyakinan mengandug perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan
menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran
ajaran-ajaran tertentu.
b.Praktek
agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk
melaksanakan komitmen agama secra nyata. Ini menyangkut hal yang berkaitan
dengan seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, perbuatan
mulia, berbakti tidak bersifat formal, tidak bersifat publik dan relatif
spontan.
c.Dimensi
pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan
tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai
pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu
berhubungan dengan suatu perantara yang supernatural meskipun dalam waktu yang
singkat.
d.Dimensi
pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan bahwa orang-orang yang bersikap religius
akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara
keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e.Dimensi
konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan
pembentukan citra pribadinya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki
konsekuensi paling penting bagi agama. Akibatnya adalah masyarakat makin
terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam
menanggapi masalh kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat sekular
semakin meluas dan sering kali dengan pengorbanan lingkungan yang sakral.
Menurut Roland Robertson, watak masyarakat sekular tidak terlalu memberikan
tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya, sediktnya peranan dalam pemikiran
agama, praktek agama, dan kebiasaan-kebiasaan agama. Umumnya, Kecenderungan
sekularisasi mempersempit ruang gerak kepercayaan-kepercayaan dan
pengalaman-pengalaman keagamaan yang terbatas pada aspek yang lebih kecil dan
bersifat khusus dalam kehidupan masyarakat dan anggota-anggotanya.
Hal itu
menimbulkan pertanyaan apakahan masyarakat sekuler mampu mempertahankan
ketertiban umum secara efektif tanpa adanya kekerasan institusional apabila
pengaruh agama sudah berkurang.
2. Pelembagaan Agama
Agama sangat universal, permanen, dan mengatur dalam
kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, maka akan sulit memahami masyarakat.
Hal yang harus diketahui dalam memahami lembaga agama adalah apa dan mengapa
agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan struktur dari agama.
Dimensi ini
mengidentifikasikan pengaruh-pengaruh kepercayaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan
keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi-dimensi ini dapat diterima
sebagai dalil atau dasar analitis, tapi hubungan antara empat dimensi itu tidak
dapat diungkapkan tanpa data empiris.
Menurut
Elizabeth K. Nottingham (1954), kaitan agama dalam masyarakat dapat
mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan keseluruhannya secara
utuh.
a.Masyarakat
yang Terbelakang dan Nilai-nilai Sakral
Masyarakat
tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut
agama yang sama. Sebab itu, keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam
kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang
lain. Sifat-sifatnya:
1.
Agama
memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem masyarakat secara mutlak.
2.
Nilai
agama sering meningkatkan konservatisme dan menghalangi perubahan dalam
masyarakat dan agama menjadi fokus utama pengintegrasian dan persatuan
masyarakat secra keseluruhan yang berasal dari keluarga yang belum berkembang.
b.Mayarakat-masyarakat
Praindustri yang Sedang Berkembang
Masyarakatnya
tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi. Agama memberi arti dan ikatan
kepada sistem nilai dalam tiap masyarakat, pada saat yang sama, lingkungan yang
sakral dan yang sekular masih dapat dibedakan. Fase kehidupan sosial diisi
dengan upacara-upacara tertentu. Di pihak lain, agama tidak memberikan dukungan
sempurna terhadap aktivitas sehari-hari, agama hanya memberikan dukungan
terhadap adat-istiadat.
Pendekatan
rasional terhadap agama dengan penjelasan ilmiah biasanya akan mengacu dan
berpedoman pada tingkah laku yang sifatnya ekonomis dan teknologis dan tentu
akan kurang baik. Karena adlam tingkah laku, tentu unsur rasional akan lebih
banyak, dan bila dikaitkan dengan agama yang melibatkan unsur-unsur pengetahuan
di luar jangkauan manusia (transdental), seperangkat symbol dan keyakinan yang
kuat, dan hal ini adalah keliru. Karena justru sebenarnya, tingkah laku agama
yang sifatnya tidak rasional memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Agama
melalui wahyu atau kitab sucinya memberikan petunjuk kepada manusia untuk
memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu selamat di dunia dan akhirat. Dalam
perjuangannya, tentu tidak boleh lalai. Untuk kepentingan tersebut, perlu
jaminan yang memberikan rasa aman bagi pemeluknya. Maka agama masuk dalam
sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang rutin. Agama menjadi salah satu
aspek kehiduapan semua kelompok sosial, merupakan fenomena yang menyebar mulai
dari bentuk perkumpulan manusia, keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa
hal penting bersifat keagamaan.
Adanya
organisasi keagamaan, akan meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi
fungsi,juga memberikan kesempatan untuk memuaskankebutuhan ekspresif dan
adatif.
Pengalaman
tokoh agama yang merupakan pengalaman kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk
perkumpulan keagamaan yang akan menjadi organisasi keagamaan terlembaga.
Pengunduran diri atau kematian figure kharismatik akan melahirkan krisis
kesinambungan. Analisis yang perlu adalah mencoba memasukkan struktur dan
pengalaman agama, sebab pengalaman agama, apabila dibicarakan, akan terbatas
pada orang yang mengalaminya. Hal yang penting untuk dipelajari adalah memahami
“wahyu” atau kitab suci, sebab lembaga keagamaan itu sendiri merupakan refleksi
dari pengalaman ajaran wahyunya.
Lembaga
keagamaan pada puncaknya berupa peribadatan, pola ide-ide dan
keyakinan-keyakinan, dan tampil pula sebagai asosiasi atau organisasi. Misalnya
pada kewajiban ibadah haji dan munculnya organisasi keagamaan.
Lembaga
ibadah haji dimulai dari terlibatnya berbagai peristiwa. Ada nama-nama penting
seperti Adam a.s, Ibrahim a.s, Siti Hajar, dan juga syetan; tempatnya adalah
Masjidil-Haram, Mas’a, Arafah, Masy’ar, Mina, serta Ka’bah yang merupakan
symbol penting; ada peristiwa kurban, pakaian ihram, tawaf, sa’I, dan
sebagainya.
Adam dan
Hawa dalam keadaan terpisah, kemudian keduanya berdoa : “Ya, Tuhan kami, kami
telah menganiaya diri sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni kami dan
memberi rahmat kepada kami, niscayalah kami termasuk orang-orang yang merugi.”
(Q.S al-A’raf : 23).
Setelah itu
Allah SWT memerintahkan Adam untuk ibadah haji (pergi ke sesuatu untuk
mengunjunginya). Saat sampai di suatu tempat (Arafah= tahu, kenal), maka
bertemulah ia dengan Hawa setelah diusir dari surge. Sebab itu dalam
pelaksanaan ibadah haji, ada ketentuan wukuf (singgah).
Nama nabi
Ibrahim a.s selalu dikaitkan dengan Ka’bah sebagai pusat rohani agama Islam
(Kiblatnya Islam). Pada suatu peristiwa Allah memerintahkan Jibril membawa
Ibrahim a.s, Siti Hajar dan Ismail a.s putranya yang masih kecil ke Makkah dari
Palestina. Di suatu tempat, Ibrahim a.s atas perintah Allah SWT supaya
meninggalkan istri dan putranya. Kemudian Ismail menangis meminta air, tentu
saja Siti Hajar menjadi khawatir dan gelisah, maka ia pun berlari mencari air ke
bukit Shafa dan Marwa sebanyak tujuh kali.
Setelah itu
dengan kuasa Tuhan, memancarlah air dari dekat kaki Ismail (sekarang sumur air
Zam-zam). Sebab itu, dalam rukun Haji ada Sa’I (berlari kecil) sebanyak tujuh
kali di bukit Shafa dan Marwa. Siti Hajar merupak lambang yang bertanggung
jawab, tidak pasrah, perjuangan fisik dan meniadakan diri tenggelam ke dalam
samudera cinta.
Kurban
dikaitkan resmi dengan ibadah haji. Lembaga ini berhubungan dengan sejarah
rohani Ibrahim a.s yang diperintahkan oleh Alla SWT untuk menyembelih putranya
Ismail a.s, untuk menguji kesempurnaan tauhidnya. Sewaktu penyembelihan akan
dilaksanakan, syetan sempat menggoda Ibrahim a.s agar tidak melaksanakan
perintah Allah tersebut. Kemudian Ibrahim dan Ismail melemparkan batu ke arah
suara syetan itu berasal. Untuk mengenang peristiwa itu, dalam pelaksanaan
ibadah haji diwajibkan melempar jumrah (batu).
Sewaktu
Ismail akan disembelih oleh Ibrahim a.s, ternyta Allah menggantinya dengan
seekor gibas (domba) jantan. Firman Allah : “Mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan
pergi kesana. Barang siapa yang kafir (terhadap kewajiban haji), maka
bahwasanya Allah Mahakuasa (tidak memerlukan sesuatu dari alam semesta)” (Q.S 3:97).
Jadi,
kewajiban tersebut, esensinya adalah evolusi manusia menuju Allah dengan
pengalaman agama yang penting. Mengandung simbolis dari filsafat “pencptaan
Adam”, “sejarah”, “keesaan”, “ideology islam”, dan “ummah”.
Organisasi
keagamaan yang tumbuh secara khusus, bermula dari pengalaman agama tokoh
kharismatik pendiri organisasi keagamaan yang terlembaga.
Muhammadiyah,
sebuah organisasi sosial Islam yang dipelopori oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang
menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dari Tafsir Al-Manar. Ayat suci Al-Quran
telah memberi inspirasi kepada Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah.
Salah satu mottonya adalah, Muhammadiyah diapandang sebagai “segolongan dari
kaum” mengajak pada kebaikan dan mencegah perbuatan jahat (amar ma’ruf, nahi ’anil
munkar)
Dari contoh
sosial di atas, lembaga keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, pola ide-ide,
ketentuan (keyakinan), dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi.
Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan (ibadat),
dan tingkat organisasi.
Tampilnya
organisasi agama adalah akibat adanya “perubahan batin” atau kedalaman
beragama, mengimbangi perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi,
fasilitas, produksi, pendidikan, dan sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan
fungsional. Pengaitan agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak
organisasi keagamaan.
Agama, konflik dan masyarakat
Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya semakin berkurang tetapi
kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di sejumlah desa-desa.Misalnya
saja, demi pariwisata yang mendatangkan banyak uang bagi para pelaku
pariwisata, maka upacara-upacara adat yang notabene adalah upacara agama suku
mulai dihidupkan di daerah-daerah.
Upacara-upacara
agama suku yang selama ini ditekan dan dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur.
Anehnya sebab bukan hanya orang yang masih tinggal di kampung yang menyambut
angin segar itu dengan antusias tetapi ternyata orang yang lama tinggal di
kotapun menyambutnya dengan semangat membara. Misalnya pemilihan hari-hari
tertentu yang diklaim sebagai hari baik untuk melaksanakan suatu upacara. Hal
ini semakin menarik sebab mereka itu pada umumnya merupakan pemeluk yang “
fanatik” dari salah satu agama monoteis bahkan pejabat atau pimpinan agama.
Jadi pada jaman sekarang pun masih banyak sekali hal yang menghubungkan agama
dengan kepercayaan-kepercayaan seperti itu sehingga bisa menimbulkan konflik
bagi masyarakat itu sendiri.
PENDAPAT
Muslim, umat
terbaik yang dibimbing oleh manusia terbaik, Muhammad Saw. Dengan kejujuran dan
keluhuran akhlaknya, beliau dijuluki Al-Amin sebelum diutus menjadi seorang
nabi. Dengan kecerdasan dan kepiawainnya sebagai panglima perang, Rasulullah
dikagumi dan dihormati oleh para sahabat, umat dan musuhnya. Dengan
ketaatannya, Rasulullah menjadi orang yang paling dicintai Allah Swt. Manusia
terbaik inilah yang menjadi contoh untuk semua umat manusia, tidakkah anda
ingin mencontohnya?
Sebagai
mahasiswa Muslim, kita tentunya mempunyai kewajiban untk menaati Allah dan
Rasul-Nya. Kita berlandaskan Al-Quran dan Sunah sebagai guidebook dalam
menjalani kehidupan demi menggapai rida Allah sehingga dengan rahmat-Nya kita
menjadi manusia yang berbahagia di dunia dan akhirat.Mungkin ada asumsi bahwa
Islam itu agama yang banyak aturannya, tapi pada hakikatnya aturan itu ada
untuk kebaikan kita juga.
REFERENSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar